Kamis, 14 April 2011

Pajak Angkringan = Pemerasan .









Gara-gara pemasukan pajak restoran di Sukoharjo minim, Pemkab setempat berniat membidik warung angkringan untuk menambah pemasukan. Hal ini muncul pada rapat Pansus I dengan DPRD Sukoharjo tentang pajak daerah yang materinya meliputi pajak hotel, restoran, hiburan, reklame, penerangan jalan, pajak mineral bukan logam, dan pajak parkir.
Pemkab Sukoharjo mengajukan draf pajak angkringan sebesar 10 persen atau Rp 5.000 per hari. Perhitungan tersebut nantinya berdasarkan asumsi pendapatan pemilik angkringan  mencapai Rp 1,5 juta per bulan atau Rp 50.000 per hari.
Tentu saja, keberadaan warung angkringan yang jumlahnya sangat banyak merupakan potensi menggiurkan. Mengingat, hampir di setiap sudut dusun, perumahan, kelurahan, hingga sepanjang jalan raya, warung angkringan ada untuk mengais rezeki. Tenda-tenda wedangan ini juga membuka peluang usaha bagi masyarakat sekitar yakni menitipkan makanan buatannya ke sana.
Usulan yang cukup kontroversial ini mengingatkan kita pada Raperda DKI Jakarta tentang Pajak Warteg sebesar 15 persen pada 2010 lalu. Raperda itu akhirnya ditunda karena ditentang berbagai pihak.
Pemkab Sukoharjo mengaku kesulitan menarik pajak restoran. Sebab, banyak pemilik restoran yang tidak jujur terhadap  omzetnya. Belum lagi sejumlah pengusaha restoran masih menunggak pajak.
Seharusnya pemerintah sensitif terhadap rakyatnya. Kalau yang ditarik adalah omzet pengusaha angkringan, tentu saja hal itu sama saja dengan memeras rakyat. Bisa dibayangkan, itu baru pendapatannya. Berapa persentase labanya? Mungkin bisa mencapai 50 persennya. Tapi, bisa jadi keuntungannya hanya 20 persen atau 10 persennya saja. Tegakah pemerintah menarik pajak dengan nilai tersebut?
Tentu dampaknya membuat kita makin miris. Rakyat yang mencoba keluar dari jerat kemiskinan justru tercekik oleh kebijakan yang tidak prorakyat.
Belum lagi dengan teknis penghitungan membedakan angkringan yang mempunyai pendapatan Rp 1,5 juta dan yang kurang? Mereka tidak membuat pembukuan yang rapi. Belum lagi faktor cuaca yang mempengaruhi tingkat pembeli. Bisa jadi, pada musim penghujan seperti sekarang ini jumlah pembeli turun drastis.
Kalau berdalih untuk meningkatkan PAD, Pemkab harus lebih intensif lagi menarik pajak di restoran-restoran yang selama ini nakal. Selain itu, Pemkab juga harus proaktif mendata restoran-restoran baru yang mempunyai kewajiban membayar pajak. Jangan beraninya dengan rakyat kecil saja. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar